25 Siswa ADEM Wilayah Papua, ADEM Daerah Khusus, dan ADEM Repatriasi menjadi Petugas Paskibra di Kemendikbudristek

Sejumlah 25 siswa penerima beasiswa program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) Wilayah Papua, ADEM Daerah Khusus, dan ADEM Repatriasi diberikan kesempatan istimewa untuk bertugas sebagai pengibar bendera pada upacara HUT Ke-79 Republik Indonesia di halaman gedung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sebelum menjalankan tugas mulia ini, para siswa telah menjalani serangkaian pelatihan intensif di Skadron Pendidikan 304 Halim Perdanakusuma. Pembinaan dan pelatihan yang dijalankan oleh siswa Paskibra ADEM terselenggara melalui hasil kerja sama  Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kemdikbudristek dengan Yayasan Pesanku. Pelaksanaan pembinaan dan pelatihan yang bertajuk Pembinaan dan Pelatihan siswa ADEM sebagai Petugas Upacara HUT Ke-79 RI Tahun 2024 diadakan dari tanggal  11 hingga 18 Agustus 2024. Pembinaan dan pelatihan meliputi berbagai aspek, mulai dari baris-berbaris, tata cara pengibaran bendera, etika petugas pengibar bendera, hingga penguatan kedisiplinan dan kerja sama tim.  Semangat kebangsaan dan rasa syukur atas kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa menjadi motivasi utama bagi mereka dalam menjalankan tugas ini. Dengan penuh rasa bangga, para siswa berdiri tegak mengibarkan bendera Merah Putih, simbol perjuangan dan harapan bangsa di hadapan seluruh peserta upacara. Momen ini menjadi sangat penting tidak hanya bagi para siswa, tetapi juga bagi seluruh yang hadir, karena mengingatkan kita semua akan arti perjuangan dan cinta tanah air. Diharapkan, melalui pengalaman ini, para siswa dapat terinspirasi untuk terus berkarya dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Refleksi Kemerdekaan di Sekolah Luar Biasa

Memasuki Bulan Agustus selalu disambut dengan kemeriahan dan euforia di seluruh penjuru wilayah. Rasanya tak mungkin lupa, lha wong berbagai pernak-pernik ala kemerdekaan sudah hampir terpasang dimana-mana. Seruan Pemerintah untuk mengibarkan bendera Merah Putih sejak awal hingga akhir bulan Agustus menandai bahwa masyarakat atau kita semua begitu patuh memasang bendera kebangsaan itu di tiang depan atau atas hunian. Sebab apa? Salah satu sebabnya adalah kegembiraan yang membuncah menyambut bulan kemerdekaan NKRI. Tidak hanya perihal itu, ornamen ala-ala warna merah putih juga memenuhi dekorasi bangunan, entah rumah, sekolah, kantor pemerintahan desa hingga pusat, serta jalanan kecil maupun besar, dan belum lagi berbagai grafiti tokoh pejuang nasional lengkap dengan quotes penyemangat yang merekah dan merona, indah sekali.Kemerdekaan yang terproklamirkan tepat di tanggal 17 Agustus dapat dimaknai sebagai buah perjuangan para leluhur yang begitu kokoh dalam pikiran, perilaku, dan jiwa mempertahankan harga diri sebagai bangsa yang gagah dan merdeka, yaitu Bangsa Indonesia. Perjuangan direfleksikan sebagai bagian dari upaya bertahan dan melanjutkan. Lalu makna merdeka dapat diuraikan pada pengetahuan tentang batas. Sehingga perjuangan yang memerdekakan berarti upaya mempertahankan dengan mengetahui sejauh mana batas yang dapat diupayakan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas diri dan lingkungan.Oleh karenanya, bagi penerus masa kini wujud perjuangan dapat terimplementasikan melalui analogi berbagai kegiatan dan program salah satunya tercermin dalam perlombaan agustusan. Perlombaan yang diselenggarakan di bulan Agustus sebagai wujud konkrit euforia menyambut kemerdekaan dan analogi perjuangan dalam semangat gotong royong, kebersamaan, dan solidaritas. Cabang perlombaannya beragam, bergantung dengan ketersediaan sumber daya yakni alat, bahan, biaya, tempat serta subjek atau peserta lomba. Lomba Agustusan secara masif diselenggarakan oleh jajaran pemerintah pusat, desa, maupun sekolah-sekolah termasuk sekolah luar biasa.Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan satuan pendidikan yang menerima peserta didik dengan kebutuhan khusus atau lebih dikenal dengan sebutan disabilitas. Jenis peserta didik berkebutuhan khusus di SLB dapat beranekaragam jenis dan klasifikasinya, yakni tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunalaras, tunagrahita, autis, dll. SLB sebagai satuan pendidikan yang membina dan mendidik peserta didik berkebutuhan khusus tentunya turut serta merayakan kemerdekaan dengan ciri khasnya dalam penyesuaian perlombaan.Ada yang menarik dalam perlombaan agustusan yang diselenggarakan oleh salah satu SLB di tengah Pulau Jawa yang tentu berisi berbagai jenis peserta didik berkebutuhan khusus, yakni pemilihan lomba yang dikategorikan berdasarkan jenis ketunaan peserta didik yaitu tunanetra dan tunadaksa. Pelaksanaan lomba di SLB tersebut menggunakan strategi pemisahan cabang perlombaan dengan memberikan spesifikasi pada subjek atau peserta lomba. Peserta didik tunanetra hanya boleh mengikuti cabang lomba makan kerupuk, pecah air, dan memindahkan bola ke keranjang. Adapun pada cabang lomba meniup bola dan merangkak hanya boleh diikuti oleh peserta didik tunadaksa. Terlihat begitu sederhana, bukan? Namun ini merupakan strategi genius yang diterapkan oleh SLB dengan mengimplementasikan inklusivitas secara konkrit. SLB tersebut sengaja membentuk aturan dan memberikan kualifikasi peserta lomba sesuai dengan kondisi dan kemampuan terhadap cabang perlombaan, sangat brilian dan sangat manusiawi. Praktik inklusivitas yang sangat nyata benderang, dimana semua peserta didik di sekolah dapat berkontribusi secara aktif dan menyeluruh dalam meramaikan perlombaan agustusan tanpa merisaukan kondisi fisik yang dialami, dan tentu tanpa merasa rendah diri dibanding yang lain. Sangat humanis, bukan?Lain tempat, maka lain kisah. Perlombaan agustusan juga diselenggarakan di SLB lain, tepatnya di kaki Gunung Merapi. Salah satu cabang perlombaan yang diselenggarakan yaitu lomba balap karung. Lomba ini diikuti oleh seluruh peserta didik tunagrahita dengan spesifikasi down syndrome yang terdiri dari 4 (empat) peserta didik down syndrome dan didampingi oleh 1 (satu) guru pendamping yang turut serta mengawal perlombaan balap karung. Perlombaan diawali seperti biasa, peserta lomba telah siap mengenakan karung dan sigap untuk melompat maju menuju garis finish sesuai arahan pemandu lomba melalui media pengeras suara (toa). Namun di tengah perlombaan, salah satu peserta didik down syndrome ‘mutung’ alias ngambek, mogok dan menolak melanjutkan lomba balap karung dan memilih untuk merebahkan diri di lapangan rumput arena perlombaan, hahah. Sangat gemas sekali. Bagaimana dengan teman-teman yang lain? Mereka tetap melanjutkan perlombaan sembari menyemangati teman yang mogok di tengah lapangan dengan bersorak meneriaki namanya. Dan bagaimana dengan guru yang tadi mengawal perlombaan? Guru tadi menghentikan lompatannya, dan menghampiri anak tersebut seraya membujuk untuk bangkit melanjutkan lompatan balap karungnya. Namun, anak tersebut tetap enggan beranjak dan lebih memilih menciumi rerumputan areal perlombaan balap karung. Bukan guru luar biasa namanya bila tidak punya trik menangani peserta didik yang istimewa. Guru tersebut menghentikan lompatannya dan kembali membujuk untuk menawarkan bantuan melanjutkan perlombaan melalui gendongan. Alhasil, setelah bujuk rayu yang cukup dramatis di tengah perlombaan, maka peserta didik down syndrome tersebut menerima tawaran untuk digendong mengitari areal perlombaan seraya mengikuti lomba hingga finish. Manis, bukan?Dua kisah di atas adalah kisah nyata yang benar terjadi di Sekolah Luar Biasa (SLB), tempat peserta didik berkebutuhan khusus menimba ilmu dan berjuang untuk ilmu dan pengetahuan. Mereka berperan sebagai peserta didik yang tentu berhak memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan termasuk dari keluwesan dari pendidik. Selain berperan sebagai peserta didik di SLB, mereka juga tidak terlepas dari peranan sebagai warga negara yang turut merasa syukur, bangga, dan berhak meramaikan kemerdekaan negerinya. Cuplikan kisah tersebut adalah sedikit dari potret pendidikan dalam moment perayaan kemerdekaan tentang bagaimana atmosfer di sekolah luar biasa yang sarat akan bukti inklusivitas, memanusiakan manusia, dan sebenar-benarnya merdeka. Sebuah refleksi kemerdekaan dalam perjuangan melawan keterbatasan dan mengupayakan potensi dalam diri dengan tetap mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan yang berbudaya.Merayakan kemerdekaan memang dapat diraih dan dibuktikan melalui berbagai pencapaian atau prestasi nasional maupun internasional atau kejuaraan akademik maupun non akademik. Namun, merayakan kemerdekaan juga dapat melalui proses refleksi bagaimana individu memaknai dan memperjuangkan nilai dan semangat kemerdekaan sesuai jati diri. Pembelajaran di SLB adalah salah satu contohnya. Pengembangan karakter sebagai manusia yang merdeka dengan mengerahkan segala upaya memaksimalkan potensi sesuai kondisi dan kemampuan. Hal ini sudah ditempuh melalui cara yang luhur dalam bingkai dan pandangan serta sikap memanusiakan manusia yang tentu selaras dengan semangat kemerdekaan belajar dari Ki Hajar Dewantara.Dirgahayu Ke-78 RI.Salam, Egie Tjadip

500 Pelajar Wilayah Papua Penerima Beasiswa ADEM 2023 Ikuti Pembekalan Wawasan Kebangsaan

Jakarta, 13 Juli 2023 – Sebanyak  500 pelajar Papua penerima beasiswa ADEM (Afirmasi Pendidikan Menengah) telah tiba di Pulau Jawa dan Bali untuk mengikuti pembekalan wawasan kebangsaan. Mereka berasal dari enam provinsi wilayah Papua, yaitu Provinsi Papua, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Papua Barat Daya. Selanjutnya mereka akan bersekolah di SMA/SMK selama tiga tahun berdasarkan penempatannya masing-masing di enam provinsi penyelenggara ADEM Wilayah Papua, yakni Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Pembekalan wawasan kebangsaan bagi pelajar Papua itu diselenggarakan di empat lokasi terpisah, yaitu Resimen Induk Daerah Militer (Rindam) Jaya Jakarta; Rindam Diponegoro Magelang, Jawa Tengah; Rindam Brawijaya Malang, Jawa Timur; dan Rindam Udayana, Bali. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, mengatakan perjalanan tiga tahun di SMA/SMK adalah saatnya bagi para pelajar Papua untuk menorehkan prestasi sebanyak mungkin. Saat ini sudah banyak peluang beasiswa untuk jenjang S-1 yang bisa diikuti, antara lain Beasiswa Indonesia Maju, Beasiswa LPDP, dan Kartu Indonesia pintar (KIP). Dalam proses seleksi beasiswa, prestasi saat bersekolah menjadi salah satu poin pertimbangan penerimaan. “Oleh karena itu gunakan kesempatan yang berharga ini untuk belajar dengan optimal, berkarya sebanyak mungkin, dan meraih prestasi setinggi-tingginya. Selamat menjalani pendidikan sebagai penerima Beasiswa ADEM. Terus semangat menggapai cita-cita dengan semangat Merdeka Belajar,” pesan Mendikbudristek pada pembukaan pembekalan bagi penerima Beasiswa ADEM, secara daring, Selasa (11/7). Sebelum ditempatkan di satuan pendidikan (SMA/SMK) yang menjalankan program ADEM di Pulau Jawa dan Bali, para pelajar Papua mengikuti pembekalan dan pelatihan wawasan kebangsaan yang di selenggarakan oleh PLPP Kemdikbudristek bekerjasama dengan Yayasan Penuntun Masa Depanku di 4 Rindam pada Minggu—Kamis, 9—13 Juli 2023. Pembekalan tersebut bertujuan untuk memberikan motivasi dan dorongan kepada pelajar Papua agar tetap semangat dan komitmen dalam mengembangkan diri dalam pembelajaran di daerah penempatannya. Selain itu, pembekalan tersebut juga ditanamkan nilai-nilai kebinekaan dan keindonesiaan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pelajar yang akan ditempatkan di satuan pendidikan di Banten dan Jawa Barat mengikuti pelatihan di Rindam Jaya Jakarta. Pada hari pertama pembekalan, mereka mendapatkan materi mengenai Motivasi Belajar, Kesehatan Reproduksi Remaja, dan Pancasila sebagai Pedoman Perilaku Keseharian Generasi Muda. Pada hari kedua materi yang diberikan lebih padat lagi, yaitu Pengetahuan Dasar Wawasan Kebangsaan, Pengetahuan Bahaya Narkoba, Pengetahuan Dunia Digital sebagai Kompetensi Masa Depan, Etika dan Sopan Santun dalam Berinteraksi, Pelatihan Baris-Berbaris dan Upacara, serta Pola Hidup Bersih dan Sehat. Pada hari ketiga para peserta mengikuti materi Pengetahuan Sejarah Bangsa dengan berkunjung ke Museum Kodam dan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Kemudian pada hari terakhir berlangsung upacara penutupan di Rindam yang dilanjutkan dengan keberangkatan para pelajar Papua menuju daerah dan sekolah penempatan. Salah satu pelatih di Rindam Jaya Jakarta, Maryanto, mengatakan bahwa selama berada di Rindam, kedisplinan peserta menjadi salah satu pembiasaan yang dilatih. Mereka juga diberikan wawasan kebangsaan dan materi bela negara agar tertanam jiwa nasionalismenya. “Sehingga anak-anak yang dari Papua dapat melihat bahwa Indonesia luas. Supaya mereka pada saat bersekolah di Jawa bisa beradaptasi dengan lingkungan di Jawa dan bisa bersekolah untuk meraih mimpi yang diharapkan. Kami senang bisa mendampingi anak-anak ini,” ujar Maryanto, Komandan Kompi Secaba, di sela-sela kunjungan wisata pelajar Papua di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Jakarta, Rabu (12/7). Angrenita Onangge, penerima Beasiswa ADEM dari SMPN 2 Web Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, menyatakan kegembiraannya bisa menjadi penerima beasiswa dan mengikuti pelatihan di Rindam Jaya Jakarta. “Saya selama ini tinggalnya di Papua saja, tidak pernah keluar. Di Rindam kami dilatih mental dan fisik agar disiplin. Senang sekali karena pelatih dan pendamping kami orangnya baik-baik,” tuturnya. Angrenita mengakui bahwa bersekolah di luar Papua adalah cita-citanya sejak SD. “Saya ingin ikut ADEM supaya bisa menggapai cita-cita. Saya ingin masuk IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Saya mau jadi camat di kabupaten nantinya. Keluarga saya sederhana. Saya ingin tunjukkan kepada orang-orang kalau saya bisa sukses seperti orang lain,” ujar Angrenita. Berbeda dengan Angrenita, peserta lain dari Provinsi Papua Tengah, Alpince Gobai, menyatakan keinginannya untuk menjadi dokter. Lulusan SMP Uhamani Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Tengah itu mengatakan akan melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran setelah lulus SMA dengan Beasiswa ADEM. “Saya mau jadi dokter. Mau kuliah kedokteran di Pulau Jawa. Di kampung saya banyak yang sakit juga,” tutur Alpince. Peserta lain, Uman Paulinus Saroi dari Manokwari, Provinsi Papua Barat, juga memiliki keinginan untuk bisa bersekolah di luar Papua. “Saya ingin sekolah di Pulau Jawa karena lulusan dari luar Papua sangat mantap. Saya ingin menambah pengalaman juga. Kami sangat senang karena kami di Rindam belajar disiplin dengan baik dan pelatihnya tidak galak. Mereka semua baik kepada kami,” tutur Uman yang berasal dari SMP YPK 04 Talitakum Rembui. Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) adalah program bantuan pemerintah yang diberikan kepada lulusan peserta didik SMP/MTs sederajat yang berasal dari Orang Asli Papua (OAP), Daerah Khusus, dan Repatriasi untuk melanjutkan pendidikan menengah SMA/SMK di Pulau Jawa dan Bali. Beasiswa tersebut dikelola oleh Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik)  Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Pada tahun 2023, Puslapdik Kemendikbudristek telah mengalokasikan beasiswa untuk 1.000 siswa baru yang akan mendapatkan Program Beasiswa ADEM wilayah Papua, Daerah Khusus, dan Repatriasi. Khusus untuk ADEM wilayah Papua, alokasinya sebanyak 500 pelajar yang terdiri dari 110 siswa dari Provinsi Papua, 97 siswa dari Provinsi Papua Tengah, 95 siswa dari Provinsi Papua Pegunungan, 48 siswa dari Provinsi Papua Selatan, 70 siswa dari Provinsi Papua Barat, dan 80 siswa dari Provinsi Papua Barat Daya.

Bedah Buku Toward Halal Karya Ibu Azizah putri Wapres KH. Ma’aruf Amin

Bedah Buku Toward Halal Abstraksi Bagi umat Islam, kepastian halal suatu barang yang hendak dikonsumsi menjadi satu hal yang sangat penting. Pasalnya, jika kedapatan mengonsumsi yang tidak halal, meskipun sedikit, orang Islam khawatir akan diganjar dengan dosa dan berbagai ekses negatif lainnya, bukan hanya dari sisi agama, tetapi juga dari sisi kesehatan tubuh yang perlu dijaga. Kebutuhan akan produk-produk halal di Indonesia semakin pesat meningkat, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk Muslim yang banyak. Untuk mengawasi agar setiap produk terjamin kehalalannya, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melalui regulasi. Di Indonesia, regulasi ini ternyata mengalami beberapa perubahan/pembaharuan. Dalam buku ini mendeskripsikan bagaimana dinamika regulasi halal di Indonesia dari masa ke masa dan mendekati persoalan halal sebagai nilai universal yang juga diakui oleh dunia dan dinamika perwujudannya secara politik di tanah air. Hasil akhir yang didapat, bahwa adanya perubahan-perubahan dan pembaharuan regulasi yang berkaitan dengan jaminan produk halal di Indonesia merupakan langkah-langkah yang tepat (di masanya) yang diambil pemerintah untuk menjaga eksistensi kehalalan produk-produk yang beredar di Indonesia agar sesuai dengan konsep halal di dalam Islam. Pendahuluan               Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim dengan jumlah yang banyak. Berdasarkan data statistik penduduk Indonesia, dari 237.641.326 jiwa, 87,18% diantaranya memeluk agama Islam (BPS, 2020). Dari jumlah penduduk Muslim yang banyak ini, tentu kebutuhan akan produk-produk halal sangatlah besar. Berdasarkan hal tersebut, produk-produk yang mengajukan sertifikasi halal juga terus meningkat seiring dengan banyaknya permintaan produk, khususnya bagi umat Muslim yang menginginkan agar setiap produk yang dibutuhkan telah memiliki sertifikasi halal, yang artinya adalah telah memenuhi standar kelayakan dan sesuai dengan syarat-syarat kehalalan suatu produk menurut agama Islam. Saat ini kata halal tak sekedar menjadi istilah untuk segala hal yang diperbolehkan di dalam Islam, tapi sekaligus sudah menjadi tren gaya hidup dan pilihan bagi masyarakat Muslim dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya. Dahulu kata halal dan non halal hanya menyangkut pada aspek makanan saja. Sekarang memilih segala sesuatu yanghalal sudah meluas ke berbagai sektor lain di kehidupan seorang Muslim. Munculnyafenomena ini disebabkan karena kesadaran komunitas Muslim yang ingin hidupnya lebih sesuai dengan syariah atau ajaran Islam yang sesuai dengan prinsip maslahah, sehingga tak mengherankan apabila gaya hidup halal mengadaptasi banyak masyarakat Muslim dunia. Di Indonesia saat ini sudah ada 10 sektor yang secara ekonomi dan bisnis berkontribusi besar dalam industri halal. Seperti sektor industri makanan, wisata dan perjalanan, fashion, kosmetik, financial, farmasi, media, kebugaran, pendidikan, serta seni budaya. Dari sisi Peraturan Perundang-Undangan, regulasi yang berkaitan dengan jaminan produk halal terus mengalami dinamika perubahan-perubahan dan pembaharuan. Dimulai dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 280/Men.Kes/ Per/XI/76 Tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi, hingga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Pada awalnya, MUI yang diperkuat dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001 diamanatkan sebagai lembaga sertifikasi halal serta untuk melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal. Kemudian terjadi perubahan kewenangan, melalui Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, amanat lembaga sertifikasi halal beralih kepada BPJPH yang kemudian memiliki tugas dan fungsi, yaitu tentang registrasi halal, sertifikasi halal, verifikasi halal, melakukan pembinaan serta melakukan pengawasan kehalalan produk, kerjasama dengan seluruh stakeholder terkait, serta menetapkan standard kehalalan produk. Pembahasan Kata Halal Sebagai negara yang memiliki penduduk dengan mayoritas beragama Islam, maka perlindungan atas kehalalan suatu produk adalah hak induvidu sekaligus hak sebagai warga negara Indonesia. Kebutuhan dan pengetahuan masyarakat terhadap suatu produk sangat penting artinya dalam proses pra-transaksi agar konsumen mendapat manfaat dan tidak mengalami keraguan terhadap suatu produk (Sumarwan, 2011). Walau sebenarnya kebijakan memilih produk adalah dari individu sendiri (terlepas dari agama yang di anutnya), namun lahirnya banyak produk yang beriklankan publik figure hanya untuk menunjang eksistensi produk tersebut terkadang memunculkan pertanyaan tentang aspek kehalalannya. Terlebih lagi, iklan tersebut cenderung terbatas menyajikan manfaat dan kelebihan tertentu saja (Harianto, 2010). Sebagai gambaran, bahwa ketika kasus “lemak babi” menyeruak ke permukaan, maka pada tahun 2000 produk pangan saja yang berlabel halal hanya sekitar 10%, belum lagi produk gunaan lainnya (Depag, 2003). Menurut al-Jurjani, kata halal berasal dari akar kata (الحل) yang artinya “terbuka” (الفتح). Secara istilah, berarti setiap sesuatu yang tidak dikenakan sanksi penggunaannya atau sesuatu perbuatan yang dibebaskan syariat untuk dilakukan. Menurut Abu Ja’far al-Tabari (224H-310H), kata halal (ً حَلالا) berarti terlepas atau terbebas (طلقا). Muhammad ibn Ali al- Shaukani berpendapat, dinyatakan sebagai halal karena telah terlepas dan terurainya simpul tali atau ikatan larangan yang mencegah (Ali, 2016). Kata halal berasal dari dari bahasa Arab dari akar kata “halla-yahillu-hallan wa halalan” yang berarti bertahalul (keluar dari ihram), diperbolehkan atau diizinkan. Jika kata tersebut dikaitkan dengan suatu barang maka berarti halal (dimakan atau diminum), namun jika dikaitkan dengan tempat maka kata tersebut berarti berhenti, singgah, tinggal, atau berdiam (Munawwir, 1997). Kata halal menyangkut kebolehan menggunakan benda-benda atau apa saja yang dibutuhkan untuk memenuhi keperluan fisik, termasuk di dalamnya makanan, minuman, dan obat-obatan. Sedangkan pengertian yang lain, berkaitan dengan kebolehan memanfaatkan, memakan, meminum, dan mengerjakan sesuatu yang semuanya ditentukan berdasarkan nash al-Qur’an (Dahlan, 1996). Dalalm konteks yang lebih luas istilah halal merujuk pada segala sesuatu yang diizinkan atau dibolehkan menurut ajaran Islam yang mencangkup aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian, cara mendapatkan rezeki dan sebagainya (Mutadho, 2018). Kriteria Makanan Halal Kriteria makan halal dalam syariat Islam seperti (Girindra, 1998:124–125): (1) tidak mengandung babi dan bahan berasal dari babi; (2) tidak memabukkan atau bukan khamr maupun produk turunannya; (3) bahan yang berasal dari hewan harus berasal dari hewan yang halal serta disembelih sesuai syariat Islam; (4) tidak termasuk dalam kategori najis seperti bangkai, darah, kotoran dan lain-lain; dan (5) semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, pengelolaan dan alat transportasi untuk produk halal tidak boleh digunakan untuk babi atau barang tidak halal. Jika pernah digunakan untuk babi atau tidak halal lainnya dan kemudian akan digunakan untuk produk halal, maka terlebih dahulu harus dibersihkan sesuai dengan cara yang diatur menurut syari‟at Islam. Penggunaan fasilitas produksi untuk produk halal dan tidak halal secara bergantian tidak diperbolehkan. Kehalalan suatu makanan haruslah komprehensif tidak hanya dipandang

Citayam Fashion Week dan Pendidikan Layanan Khusus (PLK)

Oleh : Esti Purnawinarni  Fenomena Citayam Fashion Week di Kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, adalah fenomena sosial yang muncul di daerah perkotaan. Kawasan Sudirman Central Business District atau SCBD adalah sebuah kawasan bisnis yang terletak di Jakarta Selatan, Indonesia, yang terdiri dari gedung perkantoran, hotel, serta pusat perbelanjaan dan hiburan. Kawasan ini kerap diasosiasikan sebagai kawasan elit dan eksklusif. Namun belakangan, kawasan ini menjadi sorotan publik dengan adanya fenomena Citayam Fashion Week. Fenomena ini digambarkan dengan adanya sekelompok remaja yang bergaya dan berjalan bak model dengan memamerkan pakaian yang “nyentrik” dari berbagai mode fashion tanpa disponsori oleh merk fashion tertentu. Oleh para Sosiolog, fenomena ini dipandang sebagai momentum pencarian eksistensi diri bagi muda-mudi tersebut yang ditaksir berusia belasan tahun. Sekelompok remaja tersebut mayoritas berasal dari daerah Depok, Citayam dan Bojong Gede di Bogor, daerah-daerah penyangga ibukota.Sekelompok remaja ini diasosiasikan masuk dalam kelompok anak jalanan, menurut Kementerian Sosial didefinisikan sebagai anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat umum lainnya. Sosok anak jalanan biasanya bermunculan di kota-kota, dan memenuhi spot pada tempat dan fasilitas umum lainnya, seperti alun-alun, stasiun, terminal, dan lain-lain. Fenomena Citayam Fashion Week ini berisi segerombol remaja yang memenuhi jalanan di salah satu kawasan ibukota.Ada hal yang membuat kita prihatin dalam mencermati fenomena ini jika dilihat dari sudut pandang pendidikan. Para remaja ini telah “clear” melihat pendidikan bukan satu2nya cara untuk meraih cita2, karena pendidikan dipandang tidak mampu menjawab permasalahan hidupnya untuk saat ini dan dianggap tidak mampu memberikan solusi dalam kehidupan sehari-hari.  Jika menjadi content creator dianggap bisa mendapatkan uang dengan mudah dan menyenangkan, kenapa harus sekolah? Kira-kira begitu yang ada dalam benak para remaja ini. Hal ini dibuktikan dengan penolakan beasiswa pendidikan yang diberikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, kepada salah satu remaja sebagai artis SCBD. Sebagai pemerhati pendidikan, mendorong saya ingin lebih jauh melihat implementasi Permendikbud Nomor 72 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus. Apakah Pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek telah benar-benar mengawal kebijakan ini.Remaja dalam fenomena Citayam Fashion Week rata-rata anak dalam usia sekolah menengah pertama (SMP), mereka masuk dalam kategori korban sosial sesuai Permendikbud Nomor 72 Tahun 2013 Pasal 6 (3) yang wajib dilayani hak pendidikan sesuai dengan kebutuhan . Bagaimana agar Permendikbud tersebut bisa menjadi solusi menyelesaikan fenomena ini? Karena sesuai dengan lanjutan  Pasal 15 (1) peserta didik Pendidikan Layanan Khusus (PLK) diprioritaskan bagi anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, termasuk sekelompok remaja dalam fenomena Citayam Fashion Week. Merujuk Permendikbud di atas, Kemendikbudristek bersama dengan dinas pendidikan dan satuan pendidikan terkait hendaknya merancang strategi untuk mengurangi angka putus sekolah dan mendorong meningkatnya angka melanjutkan sekolah  dengan cara tidak henti memberikan  pemahaman terkait wajb belajar dan bagaimana menjadi pembelajar sepanjang hayat. Semua stakeholder harus bekerja sama dalam memberikan perhatian dalam menanggapi fenomena ini dan fenomena serupa yang mungkin akan muncul dikemudian hari.Pertanyaanya adalah, apakah memaksa anak untuk sekolah itu dibolehkan? Tentunya, dengan pendekatan yang tepat pemerintah harus dapat memaksa semua anak di Indonesia sekolah, karena negara memiliki KEWAJIBAN memenuhi hak pendidikan sesuai ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 dan 2.  Pemerintah wajib memberikan pemahaman yang tepat kepada orang tua tentang pentingnya pendidikan. Pendidikan sebagai investasi masa depan sudah diakui sebagai satu ukuran maju dan tidaknya suatu bangsa. Pendidikan bukan hanya menjamin manusia pada pengetahuan dan keterampilan, tapi lebih dari itu, pendidikan memiliki tujuan yang sangat tinggi yakni menjadikan manusia sebagai makhluk yang HUMANIS. Peranan menjadi artis dalam fenomena Citayam Fashion Week memang menarik dan menyenangkan sehingga banyak para pengamat menyampaikan fenomena ini bagian kreatifitas remaja yang harus terus dipupuk namun penanganan melalui pendidikan layanan khusus terkait pengalaman dan pembelajaran yang principle juga tidak kalah penting, sebab pengetahuan, ketrampilan, attitude dan nilai2 humanisme yang diajarkan di bangku sekolah adalah bekal manusia seumur hidup.