2022

Bedah Buku Toward Halal Karya Ibu Azizah putri Wapres KH. Ma’aruf Amin

Bedah Buku Toward Halal Abstraksi Bagi umat Islam, kepastian halal suatu barang yang hendak dikonsumsi menjadi satu hal yang sangat penting. Pasalnya, jika kedapatan mengonsumsi yang tidak halal, meskipun sedikit, orang Islam khawatir akan diganjar dengan dosa dan berbagai ekses negatif lainnya, bukan hanya dari sisi agama, tetapi juga dari sisi kesehatan tubuh yang perlu dijaga. Kebutuhan akan produk-produk halal di Indonesia semakin pesat meningkat, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk Muslim yang banyak. Untuk mengawasi agar setiap produk terjamin kehalalannya, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melalui regulasi. Di Indonesia, regulasi ini ternyata mengalami beberapa perubahan/pembaharuan. Dalam buku ini mendeskripsikan bagaimana dinamika regulasi halal di Indonesia dari masa ke masa dan mendekati persoalan halal sebagai nilai universal yang juga diakui oleh dunia dan dinamika perwujudannya secara politik di tanah air. Hasil akhir yang didapat, bahwa adanya perubahan-perubahan dan pembaharuan regulasi yang berkaitan dengan jaminan produk halal di Indonesia merupakan langkah-langkah yang tepat (di masanya) yang diambil pemerintah untuk menjaga eksistensi kehalalan produk-produk yang beredar di Indonesia agar sesuai dengan konsep halal di dalam Islam. Pendahuluan               Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim dengan jumlah yang banyak. Berdasarkan data statistik penduduk Indonesia, dari 237.641.326 jiwa, 87,18% diantaranya memeluk agama Islam (BPS, 2020). Dari jumlah penduduk Muslim yang banyak ini, tentu kebutuhan akan produk-produk halal sangatlah besar. Berdasarkan hal tersebut, produk-produk yang mengajukan sertifikasi halal juga terus meningkat seiring dengan banyaknya permintaan produk, khususnya bagi umat Muslim yang menginginkan agar setiap produk yang dibutuhkan telah memiliki sertifikasi halal, yang artinya adalah telah memenuhi standar kelayakan dan sesuai dengan syarat-syarat kehalalan suatu produk menurut agama Islam. Saat ini kata halal tak sekedar menjadi istilah untuk segala hal yang diperbolehkan di dalam Islam, tapi sekaligus sudah menjadi tren gaya hidup dan pilihan bagi masyarakat Muslim dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya. Dahulu kata halal dan non halal hanya menyangkut pada aspek makanan saja. Sekarang memilih segala sesuatu yanghalal sudah meluas ke berbagai sektor lain di kehidupan seorang Muslim. Munculnyafenomena ini disebabkan karena kesadaran komunitas Muslim yang ingin hidupnya lebih sesuai dengan syariah atau ajaran Islam yang sesuai dengan prinsip maslahah, sehingga tak mengherankan apabila gaya hidup halal mengadaptasi banyak masyarakat Muslim dunia. Di Indonesia saat ini sudah ada 10 sektor yang secara ekonomi dan bisnis berkontribusi besar dalam industri halal. Seperti sektor industri makanan, wisata dan perjalanan, fashion, kosmetik, financial, farmasi, media, kebugaran, pendidikan, serta seni budaya. Dari sisi Peraturan Perundang-Undangan, regulasi yang berkaitan dengan jaminan produk halal terus mengalami dinamika perubahan-perubahan dan pembaharuan. Dimulai dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 280/Men.Kes/ Per/XI/76 Tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi, hingga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Pada awalnya, MUI yang diperkuat dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001 diamanatkan sebagai lembaga sertifikasi halal serta untuk melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal. Kemudian terjadi perubahan kewenangan, melalui Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, amanat lembaga sertifikasi halal beralih kepada BPJPH yang kemudian memiliki tugas dan fungsi, yaitu tentang registrasi halal, sertifikasi halal, verifikasi halal, melakukan pembinaan serta melakukan pengawasan kehalalan produk, kerjasama dengan seluruh stakeholder terkait, serta menetapkan standard kehalalan produk. Pembahasan Kata Halal Sebagai negara yang memiliki penduduk dengan mayoritas beragama Islam, maka perlindungan atas kehalalan suatu produk adalah hak induvidu sekaligus hak sebagai warga negara Indonesia. Kebutuhan dan pengetahuan masyarakat terhadap suatu produk sangat penting artinya dalam proses pra-transaksi agar konsumen mendapat manfaat dan tidak mengalami keraguan terhadap suatu produk (Sumarwan, 2011). Walau sebenarnya kebijakan memilih produk adalah dari individu sendiri (terlepas dari agama yang di anutnya), namun lahirnya banyak produk yang beriklankan publik figure hanya untuk menunjang eksistensi produk tersebut terkadang memunculkan pertanyaan tentang aspek kehalalannya. Terlebih lagi, iklan tersebut cenderung terbatas menyajikan manfaat dan kelebihan tertentu saja (Harianto, 2010). Sebagai gambaran, bahwa ketika kasus “lemak babi” menyeruak ke permukaan, maka pada tahun 2000 produk pangan saja yang berlabel halal hanya sekitar 10%, belum lagi produk gunaan lainnya (Depag, 2003). Menurut al-Jurjani, kata halal berasal dari akar kata (الحل) yang artinya “terbuka” (الفتح). Secara istilah, berarti setiap sesuatu yang tidak dikenakan sanksi penggunaannya atau sesuatu perbuatan yang dibebaskan syariat untuk dilakukan. Menurut Abu Ja’far al-Tabari (224H-310H), kata halal (ً حَلالا) berarti terlepas atau terbebas (طلقا). Muhammad ibn Ali al- Shaukani berpendapat, dinyatakan sebagai halal karena telah terlepas dan terurainya simpul tali atau ikatan larangan yang mencegah (Ali, 2016). Kata halal berasal dari dari bahasa Arab dari akar kata “halla-yahillu-hallan wa halalan” yang berarti bertahalul (keluar dari ihram), diperbolehkan atau diizinkan. Jika kata tersebut dikaitkan dengan suatu barang maka berarti halal (dimakan atau diminum), namun jika dikaitkan dengan tempat maka kata tersebut berarti berhenti, singgah, tinggal, atau berdiam (Munawwir, 1997). Kata halal menyangkut kebolehan menggunakan benda-benda atau apa saja yang dibutuhkan untuk memenuhi keperluan fisik, termasuk di dalamnya makanan, minuman, dan obat-obatan. Sedangkan pengertian yang lain, berkaitan dengan kebolehan memanfaatkan, memakan, meminum, dan mengerjakan sesuatu yang semuanya ditentukan berdasarkan nash al-Qur’an (Dahlan, 1996). Dalalm konteks yang lebih luas istilah halal merujuk pada segala sesuatu yang diizinkan atau dibolehkan menurut ajaran Islam yang mencangkup aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian, cara mendapatkan rezeki dan sebagainya (Mutadho, 2018). Kriteria Makanan Halal Kriteria makan halal dalam syariat Islam seperti (Girindra, 1998:124–125): (1) tidak mengandung babi dan bahan berasal dari babi; (2) tidak memabukkan atau bukan khamr maupun produk turunannya; (3) bahan yang berasal dari hewan harus berasal dari hewan yang halal serta disembelih sesuai syariat Islam; (4) tidak termasuk dalam kategori najis seperti bangkai, darah, kotoran dan lain-lain; dan (5) semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, pengelolaan dan alat transportasi untuk produk halal tidak boleh digunakan untuk babi atau barang tidak halal. Jika pernah digunakan untuk babi atau tidak halal lainnya dan kemudian akan digunakan untuk produk halal, maka terlebih dahulu harus dibersihkan sesuai dengan cara yang diatur menurut syari‟at Islam. Penggunaan fasilitas produksi untuk produk halal dan tidak halal secara bergantian tidak diperbolehkan. Kehalalan suatu makanan haruslah komprehensif tidak hanya dipandang

Citayam Fashion Week dan Pendidikan Layanan Khusus (PLK)

Oleh : Esti Purnawinarni  Fenomena Citayam Fashion Week di Kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, adalah fenomena sosial yang muncul di daerah perkotaan. Kawasan Sudirman Central Business District atau SCBD adalah sebuah kawasan bisnis yang terletak di Jakarta Selatan, Indonesia, yang terdiri dari gedung perkantoran, hotel, serta pusat perbelanjaan dan hiburan. Kawasan ini kerap diasosiasikan sebagai kawasan elit dan eksklusif. Namun belakangan, kawasan ini menjadi sorotan publik dengan adanya fenomena Citayam Fashion Week. Fenomena ini digambarkan dengan adanya sekelompok remaja yang bergaya dan berjalan bak model dengan memamerkan pakaian yang “nyentrik” dari berbagai mode fashion tanpa disponsori oleh merk fashion tertentu. Oleh para Sosiolog, fenomena ini dipandang sebagai momentum pencarian eksistensi diri bagi muda-mudi tersebut yang ditaksir berusia belasan tahun. Sekelompok remaja tersebut mayoritas berasal dari daerah Depok, Citayam dan Bojong Gede di Bogor, daerah-daerah penyangga ibukota.Sekelompok remaja ini diasosiasikan masuk dalam kelompok anak jalanan, menurut Kementerian Sosial didefinisikan sebagai anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat umum lainnya. Sosok anak jalanan biasanya bermunculan di kota-kota, dan memenuhi spot pada tempat dan fasilitas umum lainnya, seperti alun-alun, stasiun, terminal, dan lain-lain. Fenomena Citayam Fashion Week ini berisi segerombol remaja yang memenuhi jalanan di salah satu kawasan ibukota.Ada hal yang membuat kita prihatin dalam mencermati fenomena ini jika dilihat dari sudut pandang pendidikan. Para remaja ini telah “clear” melihat pendidikan bukan satu2nya cara untuk meraih cita2, karena pendidikan dipandang tidak mampu menjawab permasalahan hidupnya untuk saat ini dan dianggap tidak mampu memberikan solusi dalam kehidupan sehari-hari.  Jika menjadi content creator dianggap bisa mendapatkan uang dengan mudah dan menyenangkan, kenapa harus sekolah? Kira-kira begitu yang ada dalam benak para remaja ini. Hal ini dibuktikan dengan penolakan beasiswa pendidikan yang diberikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, kepada salah satu remaja sebagai artis SCBD. Sebagai pemerhati pendidikan, mendorong saya ingin lebih jauh melihat implementasi Permendikbud Nomor 72 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus. Apakah Pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek telah benar-benar mengawal kebijakan ini.Remaja dalam fenomena Citayam Fashion Week rata-rata anak dalam usia sekolah menengah pertama (SMP), mereka masuk dalam kategori korban sosial sesuai Permendikbud Nomor 72 Tahun 2013 Pasal 6 (3) yang wajib dilayani hak pendidikan sesuai dengan kebutuhan . Bagaimana agar Permendikbud tersebut bisa menjadi solusi menyelesaikan fenomena ini? Karena sesuai dengan lanjutan  Pasal 15 (1) peserta didik Pendidikan Layanan Khusus (PLK) diprioritaskan bagi anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, termasuk sekelompok remaja dalam fenomena Citayam Fashion Week. Merujuk Permendikbud di atas, Kemendikbudristek bersama dengan dinas pendidikan dan satuan pendidikan terkait hendaknya merancang strategi untuk mengurangi angka putus sekolah dan mendorong meningkatnya angka melanjutkan sekolah  dengan cara tidak henti memberikan  pemahaman terkait wajb belajar dan bagaimana menjadi pembelajar sepanjang hayat. Semua stakeholder harus bekerja sama dalam memberikan perhatian dalam menanggapi fenomena ini dan fenomena serupa yang mungkin akan muncul dikemudian hari.Pertanyaanya adalah, apakah memaksa anak untuk sekolah itu dibolehkan? Tentunya, dengan pendekatan yang tepat pemerintah harus dapat memaksa semua anak di Indonesia sekolah, karena negara memiliki KEWAJIBAN memenuhi hak pendidikan sesuai ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 dan 2.  Pemerintah wajib memberikan pemahaman yang tepat kepada orang tua tentang pentingnya pendidikan. Pendidikan sebagai investasi masa depan sudah diakui sebagai satu ukuran maju dan tidaknya suatu bangsa. Pendidikan bukan hanya menjamin manusia pada pengetahuan dan keterampilan, tapi lebih dari itu, pendidikan memiliki tujuan yang sangat tinggi yakni menjadikan manusia sebagai makhluk yang HUMANIS. Peranan menjadi artis dalam fenomena Citayam Fashion Week memang menarik dan menyenangkan sehingga banyak para pengamat menyampaikan fenomena ini bagian kreatifitas remaja yang harus terus dipupuk namun penanganan melalui pendidikan layanan khusus terkait pengalaman dan pembelajaran yang principle juga tidak kalah penting, sebab pengetahuan, ketrampilan, attitude dan nilai2 humanisme yang diajarkan di bangku sekolah adalah bekal manusia seumur hidup.