Refleksi Kemerdekaan di Sekolah Luar Biasa
Memasuki Bulan Agustus selalu disambut dengan kemeriahan dan euforia di seluruh penjuru wilayah. Rasanya tak mungkin lupa, lha wong berbagai pernak-pernik ala kemerdekaan sudah hampir terpasang dimana-mana. Seruan Pemerintah untuk mengibarkan bendera Merah Putih sejak awal hingga akhir bulan Agustus menandai bahwa masyarakat atau kita semua begitu patuh memasang bendera kebangsaan itu di tiang depan atau atas hunian. Sebab apa? Salah satu sebabnya adalah kegembiraan yang membuncah menyambut bulan kemerdekaan NKRI. Tidak hanya perihal itu, ornamen ala-ala warna merah putih juga memenuhi dekorasi bangunan, entah rumah, sekolah, kantor pemerintahan desa hingga pusat, serta jalanan kecil maupun besar, dan belum lagi berbagai grafiti tokoh pejuang nasional lengkap dengan quotes penyemangat yang merekah dan merona, indah sekali.Kemerdekaan yang terproklamirkan tepat di tanggal 17 Agustus dapat dimaknai sebagai buah perjuangan para leluhur yang begitu kokoh dalam pikiran, perilaku, dan jiwa mempertahankan harga diri sebagai bangsa yang gagah dan merdeka, yaitu Bangsa Indonesia. Perjuangan direfleksikan sebagai bagian dari upaya bertahan dan melanjutkan. Lalu makna merdeka dapat diuraikan pada pengetahuan tentang batas. Sehingga perjuangan yang memerdekakan berarti upaya mempertahankan dengan mengetahui sejauh mana batas yang dapat diupayakan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas diri dan lingkungan.Oleh karenanya, bagi penerus masa kini wujud perjuangan dapat terimplementasikan melalui analogi berbagai kegiatan dan program salah satunya tercermin dalam perlombaan agustusan. Perlombaan yang diselenggarakan di bulan Agustus sebagai wujud konkrit euforia menyambut kemerdekaan dan analogi perjuangan dalam semangat gotong royong, kebersamaan, dan solidaritas. Cabang perlombaannya beragam, bergantung dengan ketersediaan sumber daya yakni alat, bahan, biaya, tempat serta subjek atau peserta lomba. Lomba Agustusan secara masif diselenggarakan oleh jajaran pemerintah pusat, desa, maupun sekolah-sekolah termasuk sekolah luar biasa.Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan satuan pendidikan yang menerima peserta didik dengan kebutuhan khusus atau lebih dikenal dengan sebutan disabilitas. Jenis peserta didik berkebutuhan khusus di SLB dapat beranekaragam jenis dan klasifikasinya, yakni tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunalaras, tunagrahita, autis, dll. SLB sebagai satuan pendidikan yang membina dan mendidik peserta didik berkebutuhan khusus tentunya turut serta merayakan kemerdekaan dengan ciri khasnya dalam penyesuaian perlombaan.Ada yang menarik dalam perlombaan agustusan yang diselenggarakan oleh salah satu SLB di tengah Pulau Jawa yang tentu berisi berbagai jenis peserta didik berkebutuhan khusus, yakni pemilihan lomba yang dikategorikan berdasarkan jenis ketunaan peserta didik yaitu tunanetra dan tunadaksa. Pelaksanaan lomba di SLB tersebut menggunakan strategi pemisahan cabang perlombaan dengan memberikan spesifikasi pada subjek atau peserta lomba. Peserta didik tunanetra hanya boleh mengikuti cabang lomba makan kerupuk, pecah air, dan memindahkan bola ke keranjang. Adapun pada cabang lomba meniup bola dan merangkak hanya boleh diikuti oleh peserta didik tunadaksa. Terlihat begitu sederhana, bukan? Namun ini merupakan strategi genius yang diterapkan oleh SLB dengan mengimplementasikan inklusivitas secara konkrit. SLB tersebut sengaja membentuk aturan dan memberikan kualifikasi peserta lomba sesuai dengan kondisi dan kemampuan terhadap cabang perlombaan, sangat brilian dan sangat manusiawi. Praktik inklusivitas yang sangat nyata benderang, dimana semua peserta didik di sekolah dapat berkontribusi secara aktif dan menyeluruh dalam meramaikan perlombaan agustusan tanpa merisaukan kondisi fisik yang dialami, dan tentu tanpa merasa rendah diri dibanding yang lain. Sangat humanis, bukan?Lain tempat, maka lain kisah. Perlombaan agustusan juga diselenggarakan di SLB lain, tepatnya di kaki Gunung Merapi. Salah satu cabang perlombaan yang diselenggarakan yaitu lomba balap karung. Lomba ini diikuti oleh seluruh peserta didik tunagrahita dengan spesifikasi down syndrome yang terdiri dari 4 (empat) peserta didik down syndrome dan didampingi oleh 1 (satu) guru pendamping yang turut serta mengawal perlombaan balap karung. Perlombaan diawali seperti biasa, peserta lomba telah siap mengenakan karung dan sigap untuk melompat maju menuju garis finish sesuai arahan pemandu lomba melalui media pengeras suara (toa). Namun di tengah perlombaan, salah satu peserta didik down syndrome ‘mutung’ alias ngambek, mogok dan menolak melanjutkan lomba balap karung dan memilih untuk merebahkan diri di lapangan rumput arena perlombaan, hahah. Sangat gemas sekali. Bagaimana dengan teman-teman yang lain? Mereka tetap melanjutkan perlombaan sembari menyemangati teman yang mogok di tengah lapangan dengan bersorak meneriaki namanya. Dan bagaimana dengan guru yang tadi mengawal perlombaan? Guru tadi menghentikan lompatannya, dan menghampiri anak tersebut seraya membujuk untuk bangkit melanjutkan lompatan balap karungnya. Namun, anak tersebut tetap enggan beranjak dan lebih memilih menciumi rerumputan areal perlombaan balap karung. Bukan guru luar biasa namanya bila tidak punya trik menangani peserta didik yang istimewa. Guru tersebut menghentikan lompatannya dan kembali membujuk untuk menawarkan bantuan melanjutkan perlombaan melalui gendongan. Alhasil, setelah bujuk rayu yang cukup dramatis di tengah perlombaan, maka peserta didik down syndrome tersebut menerima tawaran untuk digendong mengitari areal perlombaan seraya mengikuti lomba hingga finish. Manis, bukan?Dua kisah di atas adalah kisah nyata yang benar terjadi di Sekolah Luar Biasa (SLB), tempat peserta didik berkebutuhan khusus menimba ilmu dan berjuang untuk ilmu dan pengetahuan. Mereka berperan sebagai peserta didik yang tentu berhak memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan termasuk dari keluwesan dari pendidik. Selain berperan sebagai peserta didik di SLB, mereka juga tidak terlepas dari peranan sebagai warga negara yang turut merasa syukur, bangga, dan berhak meramaikan kemerdekaan negerinya. Cuplikan kisah tersebut adalah sedikit dari potret pendidikan dalam moment perayaan kemerdekaan tentang bagaimana atmosfer di sekolah luar biasa yang sarat akan bukti inklusivitas, memanusiakan manusia, dan sebenar-benarnya merdeka. Sebuah refleksi kemerdekaan dalam perjuangan melawan keterbatasan dan mengupayakan potensi dalam diri dengan tetap mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan yang berbudaya.Merayakan kemerdekaan memang dapat diraih dan dibuktikan melalui berbagai pencapaian atau prestasi nasional maupun internasional atau kejuaraan akademik maupun non akademik. Namun, merayakan kemerdekaan juga dapat melalui proses refleksi bagaimana individu memaknai dan memperjuangkan nilai dan semangat kemerdekaan sesuai jati diri. Pembelajaran di SLB adalah salah satu contohnya. Pengembangan karakter sebagai manusia yang merdeka dengan mengerahkan segala upaya memaksimalkan potensi sesuai kondisi dan kemampuan. Hal ini sudah ditempuh melalui cara yang luhur dalam bingkai dan pandangan serta sikap memanusiakan manusia yang tentu selaras dengan semangat kemerdekaan belajar dari Ki Hajar Dewantara.Dirgahayu Ke-78 RI.Salam, Egie Tjadip