Bedah Buku Toward Halal
Abstraksi
Bagi umat Islam, kepastian halal suatu barang yang hendak dikonsumsi menjadi satu hal yang sangat penting. Pasalnya, jika kedapatan mengonsumsi yang tidak halal, meskipun sedikit, orang Islam khawatir akan diganjar dengan dosa dan berbagai ekses negatif lainnya, bukan hanya dari sisi agama, tetapi juga dari sisi kesehatan tubuh yang perlu dijaga.
Kebutuhan akan produk-produk halal di Indonesia semakin pesat meningkat, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk Muslim yang banyak. Untuk mengawasi agar setiap produk terjamin kehalalannya, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melalui regulasi. Di Indonesia, regulasi ini ternyata mengalami beberapa perubahan/pembaharuan.
Dalam buku ini mendeskripsikan bagaimana dinamika regulasi halal di Indonesia dari masa ke masa dan mendekati persoalan halal sebagai nilai universal yang juga diakui oleh dunia dan dinamika perwujudannya secara politik di tanah air.
Hasil akhir yang didapat, bahwa adanya perubahan-perubahan dan pembaharuan regulasi yang berkaitan dengan jaminan produk halal di Indonesia merupakan langkah-langkah yang tepat (di masanya) yang diambil pemerintah untuk menjaga eksistensi kehalalan produk-produk yang beredar di Indonesia agar sesuai dengan konsep halal di dalam Islam.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim dengan jumlah yang banyak. Berdasarkan data statistik penduduk Indonesia, dari 237.641.326 jiwa, 87,18% diantaranya memeluk agama Islam (BPS, 2020). Dari jumlah penduduk Muslim yang banyak ini, tentu kebutuhan akan produk-produk halal sangatlah besar. Berdasarkan hal tersebut, produk-produk yang mengajukan sertifikasi halal juga terus meningkat seiring dengan banyaknya permintaan produk, khususnya bagi umat Muslim yang menginginkan agar setiap produk yang dibutuhkan telah memiliki sertifikasi halal, yang artinya adalah telah memenuhi standar kelayakan dan sesuai dengan syarat-syarat kehalalan suatu produk menurut agama Islam.
Saat ini kata halal tak sekedar menjadi istilah untuk segala hal yang diperbolehkan di dalam Islam, tapi sekaligus sudah menjadi tren gaya hidup dan pilihan bagi masyarakat Muslim dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya. Dahulu kata halal dan non halal hanya menyangkut pada aspek makanan saja. Sekarang memilih segala sesuatu yang
halal sudah meluas ke berbagai sektor lain di kehidupan seorang Muslim. Munculnya
fenomena ini disebabkan karena kesadaran komunitas Muslim yang ingin hidupnya lebih sesuai dengan syariah atau ajaran Islam yang sesuai dengan prinsip maslahah, sehingga tak mengherankan apabila gaya hidup halal mengadaptasi banyak masyarakat Muslim dunia. Di Indonesia saat ini sudah ada 10 sektor yang secara ekonomi dan bisnis berkontribusi besar dalam industri halal. Seperti sektor industri makanan, wisata dan perjalanan, fashion, kosmetik, financial, farmasi, media, kebugaran, pendidikan, serta seni budaya.
Dari sisi Peraturan Perundang-Undangan, regulasi yang berkaitan dengan jaminan produk halal terus mengalami dinamika perubahan-perubahan dan pembaharuan. Dimulai dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 280/Men.Kes/ Per/XI/76 Tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi, hingga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Pada awalnya, MUI yang diperkuat dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001 diamanatkan sebagai lembaga sertifikasi halal serta untuk melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal. Kemudian terjadi perubahan kewenangan, melalui Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, amanat lembaga sertifikasi halal beralih kepada BPJPH yang kemudian memiliki tugas dan fungsi, yaitu tentang registrasi halal, sertifikasi halal, verifikasi halal, melakukan pembinaan serta melakukan pengawasan kehalalan produk, kerjasama dengan seluruh stakeholder terkait, serta menetapkan standard kehalalan produk.
Pembahasan
Kata Halal
Sebagai negara yang memiliki penduduk dengan mayoritas beragama Islam, maka perlindungan atas kehalalan suatu produk adalah hak induvidu sekaligus hak sebagai warga negara Indonesia. Kebutuhan dan pengetahuan masyarakat terhadap suatu produk sangat penting artinya dalam proses pra-transaksi agar konsumen mendapat manfaat dan tidak mengalami keraguan terhadap suatu produk (Sumarwan, 2011).
Walau sebenarnya kebijakan memilih produk adalah dari individu sendiri (terlepas dari agama yang di anutnya), namun lahirnya banyak produk yang beriklankan publik figure hanya untuk menunjang eksistensi produk tersebut terkadang memunculkan pertanyaan tentang aspek kehalalannya. Terlebih lagi, iklan tersebut cenderung terbatas menyajikan manfaat dan kelebihan tertentu saja (Harianto, 2010). Sebagai gambaran, bahwa ketika kasus “lemak babi” menyeruak ke permukaan, maka pada tahun 2000 produk pangan saja yang berlabel halal hanya sekitar 10%, belum lagi produk gunaan lainnya (Depag, 2003).
Menurut al-Jurjani, kata halal berasal dari akar kata (الحل) yang artinya “terbuka” (الفتح). Secara istilah, berarti setiap sesuatu yang tidak dikenakan sanksi penggunaannya atau sesuatu perbuatan yang dibebaskan syariat untuk dilakukan. Menurut Abu Ja’far al-Tabari (224H-310H), kata halal (ً حَلالا) berarti terlepas atau terbebas (طلقا). Muhammad ibn Ali al- Shaukani berpendapat, dinyatakan sebagai halal karena telah terlepas dan terurainya simpul tali atau ikatan larangan yang mencegah (Ali, 2016). Kata halal berasal dari dari bahasa Arab dari akar kata “halla-yahillu-hallan wa halalan” yang berarti bertahalul (keluar dari ihram), diperbolehkan atau diizinkan. Jika kata tersebut dikaitkan dengan suatu barang maka berarti halal (dimakan atau diminum), namun jika dikaitkan dengan tempat maka kata tersebut berarti berhenti, singgah, tinggal, atau berdiam (Munawwir, 1997).
Kata halal menyangkut kebolehan menggunakan benda-benda atau apa saja yang dibutuhkan untuk memenuhi keperluan fisik, termasuk di dalamnya makanan, minuman, dan obat-obatan. Sedangkan pengertian yang lain, berkaitan dengan kebolehan memanfaatkan, memakan, meminum, dan mengerjakan sesuatu yang semuanya ditentukan berdasarkan nash al-Qur’an (Dahlan, 1996). Dalalm konteks yang lebih luas istilah halal merujuk pada segala sesuatu yang diizinkan atau dibolehkan menurut ajaran Islam yang mencangkup aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian, cara mendapatkan rezeki dan sebagainya (Mutadho, 2018).
Kriteria Makanan Halal
Kriteria makan halal dalam syariat Islam seperti (Girindra, 1998:124–125): (1) tidak mengandung babi dan bahan berasal dari babi; (2) tidak memabukkan atau bukan khamr maupun produk turunannya; (3) bahan yang berasal dari hewan harus berasal dari hewan yang halal serta disembelih sesuai syariat Islam; (4) tidak termasuk dalam kategori najis seperti bangkai, darah, kotoran dan lain-lain; dan (5) semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, pengelolaan dan alat transportasi untuk produk halal tidak boleh digunakan untuk babi atau barang tidak halal. Jika pernah digunakan untuk babi atau tidak halal lainnya dan kemudian akan digunakan untuk produk halal, maka terlebih dahulu harus dibersihkan sesuai dengan cara yang diatur menurut syari‟at Islam. Penggunaan fasilitas produksi untuk produk halal dan tidak halal secara bergantian tidak diperbolehkan.
Kehalalan suatu makanan haruslah komprehensif tidak hanya dipandang pada satu faktor saja, haruslah substansi integratif dari berbagai faktor dan sektor. Syarat-syarat dalam kriteria kehalalan harus mencakup halal pada zatnya, cara memperolehnya, cara memprosesnya, kemudian dalam penyimpanannya, pengangkutannya dan penyajiannya (Girindra, 1998: 17).
Jenis-jenis makanan yang halal berdasarkan nash al-Quran maupun hadits seperti yang disampaikan Suryana yakni (Suryana, 2009: 4): (1) semua makanan yang baik, tidak kotor dan menjijikkan; (2) semua makanan yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya; (3) semua makanan yang tidak memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak merusak akal, moral dan akidah; dan (4) hewan yang hidup di dalam air, baik air laut maupun air tawar.
Sertifikasi dan labelisasi halal pada produk pangan
Sertifikasi dan labelisasi halal merupakan bentuk pembaharuan dalam sektor makanan dan konsumsi publik. Sertifikasi dan labelisasi halal pada makanan yang beredar terutama makanan yang sifatnya instan merupakan suatu hal yang sebenarnya tidak ada dimasa lampau, namun saat ini keberadaannya menjadi sesuatu yang dianggap penting. Tulisan ini merupakan penelitian konseptual terkait kajian sertifikasi dan labelisasi halal pada makanan dalam perspektif hukum Islam melalui studi ayat ahkam. Hasil kajian menunjukkan bahwa Sertifikasi dan labelisasi halal pada makanan sebenarnya dapat kita pandang dengan kembali pada kaidah dasar dalam hal makanan yakni “hukum asal segala sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang melarangnya”. Ayat-ayat ahkam tentang makanan memerintahkan untuk memakan makanan yang halal lagi baik, maka sertifikasi dan labelisasi halal pada makanan begitu urgen di masa sekarang sebagai upaya memenuhi perintah tersebut dengan memunculkan keyakinan dan kepastian pada kehalalan suatu makanan serta bentuk kehati-hatian yang akan menghindarkan dari mengonsumsi makanan yang haram.
Landasan hukum produk halal yang sesuai dengan syariat Islam antara lain terdapat dalam:
Yang artinya Sebagai berikut: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Surah al-Baqarah ayat 168).
Secara spesifikasi , Islam tidak menunjukkan adanya perintah untuk memberi lebel halal pada produk. Akan tetapi ini merupakan konstruksi ijtihady yang menjadi mutlak adanya (Kahfi, 2018). Legal keberadaannya terletak pada ”kulliyatul khamsa” bahwa dari aspek terpeliharanya kewajiban menjalankan syariat, yakni secara akidah jaminan halal menjadi harga mati bagi masyarakat muslim, mengingat ini menjadi tuntunan dan kewajiban beribadah kepada Allah SWT (Murjani, 2015).
Beberapa prinsip Islam tentang halal dan haram sebagai berikut: (1) Segala sesuatu pada awalnya adalah mubah. Dalam Islam segala sesuatu itu adalah halal dan boleh dan tidak ada yang haram sampai ada nash/dalil yang tegas mengharamkannya; (2) Halal dan haram adalah hak Allah SWT semata. Peran ulama dalam hal ini adalah merumusakn dan menjabarkan lebih lanjut hal-hal yang telah di tegaskan oleh Allah SWT; (3) Mengharamkan yang halal akan menimbulkan sesuatu keburukan dan bahaya; (4) Suatu yang halal tidak memerlukan yang haram; (5) Sesuatu yang membawa kepada yang haram adalah haram; (6) Bersiasat kepada yang haram adalah haram; (7) Niat baik tidak dapat menghalalkan sesuatu yang haram; (8) Menjauhkan diri dari syubhat karena takut terjatuh dalam keharaman; (9) Sesuatu yang haram berlaku untuk semua; (10) Keadaan terpaksa memperbolehkan yang terlarang (Depag, 2003).
Agar dinyatakan halal, adapun beberapa katagori yang harus terpenuhi, antara lain: (1) Halal zatnya atau bahan dasarnya, apakah berasal dari sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT, jika terkontaminasi sesuatu yang haram maka tidak di perbolehkan; (2) Sesuatu dapat menjadi haram dilihat dan dinilai dari cara mendapatkannya. Hal yang membuat halal menjadi haram ini seperti hasil mencuri, berhubungan badan di luar nikah, riba, maupun korupsi, dan cara lain yang diharamkan oleh Allah SWT; (3) Prosesnya, setelah diperoleh secara halal dengan bahan yang halal pula jika di proses dengan hal yang haram maka juga akan menjadi haram; (4) penyimpanannya, hal ini juga dapat merubah posisi halal menjadi haram. Misalnya, jika di simpan di tempat bersamaan dengan hal yang haram, atau ditujukan untuk hal yang terlarang; (5) Dalam penyajiannya, sesuatu yang halal haruslah bersih serta terhindar dari najis dan kotoran (Murjani, 2015). Tentang konsep halal, Islam telah menggariskan batasan-batasannya. Untuk menjaganya tentu diperlukan suatu kekuatan, salah satunya adalah melalui pemerintah dengan regulasi halal yang diundangkannya. Regulasi sangat diperlukan sebagai standar kualitas dan perilaku yang diterima oleh masyarakat dengan tujuan untuk melindungi kepentingan umum (Sup, 2020). Oleh karena itu, maka dibutuhkanlah suatu regulasi yang harus dilaksanakan secara taat dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah (Sup, 2019). Dengan demikian diharapkan eksistensi kehalalan produk-produk yang beredar di Indonesia dapat sesuai dengan konsep halal di dalam Islam.
Fungsi sertifikat halal dapat dilihat dari dua perspektif, yakni perspektif konsumen dan produsen (Pelu, 2009: 31–35). Perspektif konsumen, sertifikat halal memiliki fungsi antara lain:
1. Terlindungnya konsumen muslim dari mengonsumsi pangan, obat-obatan dan kosmetika yang tidak halal
2. Secara kejiwaan perasaan hati dan batin konsumen akan tenang
3. Mempertahankan jiwa dan raga dari keterpurukan akibat produk haram
4. Akan memberikan kepastian dan perlindungan hukum
Perspektif produsen, maka sertifikat halal berfungsi:
1. Sebagai pertanggungjawaban produsen kepada konsumen Muslim, mengingat masalah halal merupakan bagian dari prinsip hidup muslim
2. Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen
3. Meningkatkan citra dan daya saing perusahaan
4. Sebagai alat pemasaran serta untuk memperluas area jaringan pemasaran
5. Memberi keuntungan pada produsen dengan meningkatkan daya saing dan omset produksi penjualan.
Saat kita berbicara ayat ahkam yang dalam kerangka dasar ajaran islam substansinya masuk pembahasan syariah, tidak lepas dari fiqih dan ushul fiqih, maka eksistensi pemberlakuan labelisasi halal pada makanan dapat dipandang dalam beberapa pendekatan, yaitu:
1. Maqashid al-Syariah
Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Kemudian senada dengan pernyataan tersebut, Fathi ad-Darayni menyebutkan bahwa hukum-hukum tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan (ad Dâraynî, 1975: 28). Tujuan Allah SWT. mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif yang pelaksanaannya tergantung pada penalaran sumber hukum utama yaitu al-Quran dan Hadits (Djamil, 1997: 125).
Kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’at ini dibatasi dalam lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaan atas lima hal tersebut disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal disebut mafsadah. Maka eksistensi label halal pada makanan merupakan sesuatu yang sebenarnya akan menuju pada kemaslahatan, sebab merupakan manifestasi dari hifzh al-din (memelihara agama), hifzh al-nafs (memelihara jiwa) dan hifzh al-„aql (memelihara akal) karena akan menjadi cara untuk mengonsumsi makanan yang halal dan menghindari makanan yang haram sebagaimana yang telah disyariatkan dalam ajaran Islam.
2. Mashlahah Mursalah
Maslahah mursalah terbagi menjadi dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Maslahah secara harfiah berarti manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Mursalah berarti terlepas atau bebas. Digabungkan menjadi maslahah mursalah secara istilah adalah kemaslahatan yang keberadaanya tidak didukung syara‟ dan juga tidak ditolak oleh syara‟ melalui dalil-dalil terperinci. Disebut sebagai suatu maslahah, karena hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahah ini, dapat menghindarkan mukallaf dari suatu hal yang mudharat dan juga akan mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi mukallaf (Mufid, 2016: 117–118).
3. Sad Adz Dzari‟ah
Pada dasarnya Sad adz Dzari‟ah merupakan upaya preventif, yakni menutup jalan yang akan menjembatani dan mengarahkan kepada sesuatu yang mafsadah atau yang diharamkan. Maka label halal dalam makanan merupakan upaya preventif agar orang-orang muslim terlindungi dari memakan sesuatu yang haram dan membawa mafsadah.
4. Kaidah Fikih
Kaidah-kaidah fikihsebagai formulasi produk hukum yang dapat dikaitkanpada permasalahan sertifikasi dan labelisasi halal sebagai kaidah mengonstruksi kehadirannya pada peredaran makanan saat ini adalah sebagai berikut (Abdurrahman, 1986: 2; Azhari, 2014: 184; Djazuli, 2006: 137; Fila, 2020: 60; Tamrin, 2010: 181): “Hukum asal segala sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya.”
Perlindungan konsumen Muslim melalui sertifikasi dan labelisasi halal.
Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH)
Ditegaskan bahwa pada Pasal 4 UUJPH bahwa produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Isi pasal ini bukan diartikan bahwa setiap produk yang dijual oleh pengusaha harus halal dan bukan tidak boleh memperdagangkan yang tidak halal atau haram menurut agama Islam, tetapi maksud dari isi Pasal 4 adalah para pengusaha boleh meperdagangkan barang yang tidak halal, tetapi harus disebutkan bahwa barang tersebut tidak halal. Ketika sudah mendapatkan label halal harus mempertahankan kehalalannya dan menjaga kehalalannya.
Intinya para pengusaha bukan tidak boleh memperdagangkan barang haram menurut agama Islam, tetapi harus jujur kalau halal harus punya label halal, sebaiknya kalau ada unsur haram harus dikatakan itu tidak halal. Sebagaimana terjadi kasus besar salah satu produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia (dan PT. Ajinex Internasional) pernah mencuat di permukaan sangat meresahkan masyarakat dalam proses produksinya sejak bulan juni 1999 sampai akhir Nopember 2000 diketahui telah menggunakan bahan penolong berupa bactosoytone yang ternyata mengandung unsur babi. Produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan bactosoytone dalam proses produksinya adalah haram.
Belajar dari kasus tersebut maka Mejelis Ulama Indonesia (MUI) berusaha berperan untuk menentramkan umat Islam dalam masalah kehalalan produk pangan demgan cara mendirikan lembaga pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetika MUI (LPPOM MUI) untuk melakukan pengkajian produk halal.
Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya sampai sekarang banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai Jaminan Produk Halal (JPH) perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Adapun asas-asas dari penyelenggaraan dari JPH adalah perlindungan; keadilan; kepastian hukum; akuntabilitas dan transparansi; efektivitas dan efisiensi; dan profesionalitas. Penyelenggaraan JPH bertujuan:
a. memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan
b. meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal Informasi kepada masyarakat bahwa produk yang dijual telah halal, pemerintah telah mengatur regulasi hukum yaitu pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan iklan pangan dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Regulasi aturan produk halal telah ada namun tidak dipungkiri masih belum memasyarakat secara luas, sehingga masyarakat masih bingung untuk mendapatkan produk yang benar-benar terjamin kehalalannya. Hal ini karena tidak sedikit produk-produk yang mencamtumkan tanda halal secara ilegal, pengolahan pangan dan non pangan, status kehalalan dari produk- produk yang berada di pasaran menjadi sangat rawan, disebabkan proses pengolahan menjadi sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak serta pelaku usaha yang lain.
Pelaku usaha dan masyarakat dapat menyebarluaskan informasi dan wawasan terkait Sertifikasi Produk Halal ke seluruh masyarakat lainnya agar semakin banyak yang paham tentang pentingnya Sertifikasi produk halal dan Jaminan produk halal ini. Setelah mengerti betapa pentingnya sertifikasi produk halal dan jaminan produk halal, pelaku usaha segera mengajukan sertifikasi produk terhadap kehalalan produk yang diproduksinya.
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantumkan Label Halal pada kemasan Produk. Untuk menjalankan Undang- Undang Jaminan Produk Halal dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang disingkat dengan BPJPH yang berwenang:
- merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
- menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
- . menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
- melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;
- melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
- melakukan akreditasi terhadap LPH;
- melakukan registrasi Auditor Halal;
- melakukan pengawasan terhadap JPH;
- melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
- melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Perlindungan Konsumen atas Produk Halal
- Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Perlindungan Konsumen) telah membangkitkan kesadaran baru berupa penumbuh kembangan sikap pelaku usaha (Edy Supaino, Vol.9 No.1. 2017.h. 49) yang bertanggung jawab (caveatvenditor). Sikap bertanggung jawab tersebut diperlukan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen asas dari perlindungan konsumen meliputi asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Pada Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan hak-hak konsumen yaitu sebagai berikut:
- hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
- hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
- hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
- hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundangundangan lainnya.
Berkaitan dengan Pasal 4 huruf a tersebut konsumen muslim berhak atas produk yang memberi rasan aman, nyaman dan tenteram. Oleh sebab itu, pelaku usaha dalam memperdagangkan suatu produk agar memberi rasa aman, nyaman dan tenteram, maka pelaku usaha berkewajiban mengajukan permohonan sertifikat halal melalui LPOM MUI untuk mendapat sertifikat halal dan kemudian mencantumkan logo halalnya pada produk. Selanjutnya Pasal 4 angka c Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan, konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang dan/ atau jasa. Merujuk pada Pasal 4 huruf c tersebut untuk melindungi konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal, pelaku usaha dalam memproduk barang/ dan atau jasa untuk diperdangkan berkewajiban untuk memberikan informasi yang jelas dan jujur bahwa produk yang diperdagangkkan tersebut adalah produk halal dengan mencantumkan logo sertifikat halal MUI.
Tujuan Logo sertifikat halal MUI adalah memberi perlindungan dan kepastian hukum hak-hak konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal. Mencegah konsumen muslim mengkonsumsi produk yang tidak halal. Menyangkut perlindungan konsumen terhadap produk halal, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 745/KPTS/TN.240/12/1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan Pemasukan daging dari luar Negeri yang diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 97 menyatakan, setiap orang yang memproduksi pangan didalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada kemasan termasuk label halal atau tanda halal bagi yang dipersyaratkan. Pemasukan daging untuk konsumsi umum harus berdasarkan ternak yang pemotongannya dilakukan menurut syariat Islam dan dinyatakan dalam sertifikat halal.(Syafrida, Jurnal Adil, Volume 7 Nomor.2,h.164).
Penutup
Dibentuknya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2019 Tentang Penyelenggara Jaminan Produk Halal semakin memperjelas bahwa betapa mendesaknya permasalahan halal dan haram di Indonesia. peraturan tersebut menunjukkan bahwa terdapat tiga lembaga urgent yang berwewenang menjalankan sertifikasi halal di Indonesia, yakni ada BPJPH, LPH, dan MUI. BPJPH mempunyai kewenangan untuk bekerjasama salah satunya dengan Kementerian dan/atau lembaga terkait, bentuk kerjasamanya harus sesuai dengan tugas dan fungsi tiap-tiap kementerian.
Prosedur pengajuan sertifikasi halal dilaksanakan melalui enam tahapan, yakni: mulai dari (1) Pengajuan permohonan secara tertulis oleh pelaku usaha; (2) Pemeriksaan kelengkapan dokumen permohonan; (3) Penetapan LPH, LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI; (4) Pemeriksaan dan pengujian produk oleh auditor halal; (5) Penetapan kehalalan produk oleh MUI dalam sidang fatwa halal; dan terakhir (6) Penerbitan sertifikasi halal. Selanjutnya para pelaku usaha berkewajiban untuk memperbaharui sertifikat halal jika masa berlakunya telah berakhir (4 tahun). pengajuan permohonan pembaharuan paling lambat 3 bulan sebelum masa sertifikat berakhir.
Kewajiban sertifikasi halal sesuai dengan UUJPH diberlakukan mulai pada tanggal 17 Oktober 2019 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2024. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan pelaku usaha, kesiapan infrastruktur pelaksanaan Jaminan Produk Halal, dan mempertimbangkan jenis Produk sebagai kebutuhan primer dan dikonsumsi secara masif.
Referensi
Abdurrahman, J. Lima Kaidah Pokok dalam Fikih Mazdhab Syafi‟i (A. Syukur, Penerj.). Surabaya: Bina Ilmu, 1986.
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 2. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. 1996
ad Dâraynî, F. Al-Minhâj al-Ushûliyyah fî Ijtihâd bî ar-Ra‟yi fî at-Tasyrî‟. Damaskus: Dâr al-Kutub al-Hadîts, 1975.
Ali, M. (2016). “Konsep Makanan Halal dalam Tinjauan Syariah dan Tanggung Jawab
Produk atas Produsen Industri Halal.” Ahkam, Vol. 16, No. 2. Diambil dari https://doi.org/10.15408/ajis.v16i2.4459
BPS. (2020). Sensus Penduduk 2010. Diambil dari https://sp2010.bps.go.id/index.php/
site/tabel?tid=320&wid=0
Depag. (2003). Pedoman Produk Halal. Jakarta: Proyek Pembinaan Pangan Halal.
Djamil, F. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Edy Supaino dan Martin Roestamy, Kepastian Hukum Tentang Penggunaan Label Halal Guna Memberikan Perlindungan kepada Konsumen Muslim, Jurnal Living Law, Volume 9, No.1 2017, h.49
Girindra, A. Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal. Jakarta: LPPOM-MUI, 1998.
Harianto, D. Perlindungan Hukum Bagi Terhadap Iklan yang Menyesatkan. Bogor: Ghalia. (2010).
Kahfi, A. (2018). “Aspek Hukum Perlindungan K o n s u m e n Muslim di Indonesia . ”
Jurisprudentie, Vol. 5, No. 1. Diambil dari https://doi.org/10.24252/jurisprudentie. v5i2.5399.
Mufid, M. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: Dari Teori Ke Aplikasi. Jakarta: Kencana, 2016.
Munawwir, A. W. Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia). Surabaya: Pustaka
Progresif. (1997).
Murtadho, R. (2019). “Nilai Filosofi Halal dalam Ekonomi Syariah.” Profit, Vol. 3, No. 1. Diambil dari http://doi.org/10.33650/ profit.v3i1.537
Murjani. (2015). “Sistem Jaminan Produk Halal dan Thayib di Indonesia: Tinjauan Yuridis dan Politis.” Fenomena, Vol. 7, No. 2. Diambil dari https://doi.org/10.21093/
fj.v7i2.298.
Pelu, M. I. E. A. Label Halal: Antara Spiritualitas Bisnis dan Komoditas Agama. Malang: Madani, 2009.
Sumarwan, U. Perilaku Konsumen, Teori, dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor: Ghalia. (2011).
Sup, D. F. A. (2020). “Mengawal Nilai-Nilai Produksi melalui AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dalam Perspektif Ekonomi Syariah.” Tsaqafah, Vol. 16 No. 1. Diambil dari https://dx.doi. org/10.21111/tsaqafah.v16i1.3953
Sup, D. F. A. (2019). “Tinjauan Maslahah Terhadap AMDAL.” Muslim Heritage,
Vol. 4 No. 1. Diambil dari https://doi. org/10.21154/muslimheritage.v4i1.1724.
Suryana. Makanan yang Halal dan Haram. Jakarta: Mitra Aksara Panaitan, 2009.
Syafrida, Sertifikat Halal pada Produk Makanan dan Minuman memberi Perlindungan dan Kepastian Hukum Hak-Hak Konsumen Muslim, Jurnal Adil, Volume 7 Nomor.2
Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.